Cerita Piknik

Surabaya ke Palembang Lewat Darat, ngeteng gara-gara ditinggal Damri

Kalau boleh bandingkan, harga tiket pesawat Surabaya ke Palembang sama dengan harga kendaraan di darat. Paling ada selisih sekitar seratus – dua ratus ribu.

Dan saya juga heran, kenapa waktu ke Palembang saya malah beli tiket bus dari Surabaya ke Jakarta dan selanjutnya naik kendaraan darat sambung menyambung. Trus akhirnya ngeteng gara-gara ditinggal Damri.

Intinya gini, saya pengen merasakan pindah pulau melewati jalur darat. Indonesia, kan, negara kepulauan. Anggap saja yang saya lakukan mencintai Indonesia dengan cara yang tak biasa, ciyeeh.

Awal kerumitannya saya membeli tiket bus via online. Di sana tertera jadwal kedatangan jam 12.00. Angkanya jelas, jam 12.00, cuma saya salah persepsi. Saya pikir jam 12 malam. ternyata jam 12 siang. Sementara saya sudah memesan tiket bus Damri dari Gambir ke Lampung jam 10 pagi dan tiket kereta api jam 21.00 dari Stasiun Tanjung Karang ke Palembang.

Sebenarnya jelas tidak mungkin Surabaya – Jakarta naik bus 7 jam. Tapi, mbuh ya, kok saya yakin bisa sampe Jakarta sebelum jam 10 pagi.

Yang memberikan secercah harapan hanyalah ucapan meyakinkan dari petugas bus yang mengatakan jam 6 pagi bus sudah masuk Jakarta.

Selama perjalanan bus hati saya nyaman dan sedikit waspada. Nyaman yakin nyampe, juga waspada tiap kali melihat kru bus berkali-kali berhenti mereparasi kendaraan yang kayaknya sering masalah.

Dalam keadaan seperti ini waktu 5 menit berharga banget buat saya. Gak hanya sekali, tapi berkali-kali. Setiap berhenti minimal nunggu 10 menit. Kalikan saja sudah berapa menit waktu sia-sia.

Jam 9.30 tepat bus akhirnya tiba di terminal Pulo Gebang. Kabar bagusnya, bus Damri yang akan membawa saya ke Lampung baru tiba di pangkalan.

“Mbak naik ojek aja ke Gambir. Tapi harus cepetan biar keburu. Usahakan 40 menit sampe Gambir”

Oke, Pak Ojek yang saya pesan via online tiba tepat waktu. Setelah saya ceritakan keadaan saya, Pak Ojek siap mengantar dengan usaha maksimal. Tapi apa mau dikata kalau kemacetan Jakarta sulit ditembus? Ya sudahlah, saya pasrah.

Saat menunggu lampu merah di perempatan Senen, saya dikabari bus Damrinya jalan. Yah, apa mau dikata, saya ngotot minta tunggu pun, pihak Damrinya nggak mau nunggu. Alasannya penumpang lain sudah marah-marah dan gak bisa dikendalikan.

“Waduh, Mbak. Ini jalan tinggal lurus aja sudah sampai. Masak gak mau sih nunggu 5 menit aja?” gerutu Pak Ojek.

“Ya sudahlah, Pak. Gak papa. Saya boleh minta tolong antarkan saya ke Terminal Senen? Saya mau naik bus ke Merak.” Kecewa, sih, tapi saya tenangkan diri dan berusaha bahagia. Biar keadaan nggak semakin ruwet.

“Mbak, hati-hati, ya. Jaga barang bawaan di Terminal Senen. Tanya dulu, jangan langsung naik” saran Pak Ojek.

Menyadari logat saya Jawa tulen, saya bilang, “Pak, bisa minta tolong lagi? Bapak saja yang menanyakan bus mana yang jurusan Merak”

Baiknya Bapak, Ia langsung mengarahkan motor masuk ke dalam terminal. Sayangnya bus jurusan Merak tidak ada. Alternatif lainnya saya harus naik metromini dulu ke Terminal Kalideres.

“Gini, Mbak. Saya antarkan Mbak keluar terminal. Saya cariin bus yang ke terminal Kalideres. Saya tungguin Mbak sampai naik ke atas bus” usul Pak Ojek.

Wah, tawaran Pak Ojek sangat menggiurkan. Dalam keadaan seperti ini saya sudah nggak sempat mikir gimana nanti-gimana nanti. Pokoknya iyaa aja.

Di atas motor, Pak Ojek dengan buru-buru menghadang metromini. “Mbak, Mbak naik itu ya!” serunya cepat.

Turun motor saya langsung nyerahkan ongkos ojek. Hampir lupa kalau helm ijo nya masih nempel di kepala saya, haha. “Mbak, mbak… helm, mbak!”

Di atas Metromini saya melepaskan nafas lega. Belum sarapan, belum sempat minum, sama sekali tidak terpikir di kepala saya. Sepanjang di atas Metromini saya sibuk mikir berapa ongkosnya. Saya perhatikan penumpang naik turun dengan bebas, bayarnya langsung ke sopir.

Jarak Senen ke Kalideres lumayan jauh. Ada sekitar sejam-an.

“Mas, tarif metromini ini berapa, ya?” tanya saya ke seorang anak muda di kursi depan saya.

“Biasa 4 ribu, Mbak. Mbak mau ke mana?”

Lega saya. Tapi kok murah banget ya cuma 4 ribu? “Saya mau ke Merak, Mas”

Lalu terjadi obrolan singkat tentang Merak dan penyebrangan ke Lampung. Saya memutuskan turun metromini di dalam terminal Kalideres. Bayangan terminalnya saja saya tidak tau. Di mana mencari bus yang ke arah Merak juga nggak ngerti.

Beruntungnya, saya sempat membaca bus dengan tulisan Merak. Begitu turun Metromini saya langsung menuju deretan bus warna kuning, Arimbi.

“Merak, ya, Pak?” tanya saya ke Pak Sopir

“Iyaaa.. Merak. Mau nyebrang?” Tanya Pak Sopir yang sedang santai di belakang kemudinya.

Sambil duduk di bangku paling depan (biar mudah komunikasi dengan keneknya). Setiap kali saya menyebut Merak, selalu diikuti dengan pertanyaan ‘nyebrang’.

“Iya, Saya mau ke Palembang, Pak”

“Asalnya dari mana?” Mungkin logat Jawa saya membuatnya tertarik wawancara dengan saya.

“Saya dari Surabaya, Pak” berusaha memberikan senyum.

“Sendiri, aja? Temannya mana?”

“Teman saya sudah naik Damri tadi..”

Obrolan pun jadi panjang kenapa kemudian saya bisa sampai di terminal Kalideres.

“Gini, deh, nanti saya carikan barengan yang mau nyebrang ke Lampung. Jangan jalan sendirian” kesimpulan Pak Sopir. Dalam hati saya lega. Ajakan seperti ini yang saya tunggu-tunggu.

Masalahnya, sejak di dalam bus Surabaya – Jakarta beberapa penumpang terus-terusan cerita kesereman terminal di Jakarta. Ditambah lagi calo di Merak. Yang paling ngeri saya tak mungkin bisa ngejar kereta api di Lampung. Tapi semuanya saya tepis dengan hal-hal positif. Bahkan sampai di terminal Pulo Gadung, bapak penumpang di sebelah saya masih menawarkan ngajak bareng saya sampai terminal Kalideres yang ngaku pulangnya searah.

“Kamu sampai Merak paling nggak jam 5 sore. Gak mungkin kereta ke Palembangnya kekejar. Naik travel aja.. apalagi kamu sendirian. Sampai Bakauheni sudah malam” saran Pak Sopir.

Perkataan ini membuat saya sedikit kalut. Masak Damri sudah gak kekejar, kereta juga nggak kekejar juga, pikir saya. Saya terus pasrah aja pada alam yang membawa saya berjalan menerobos waktu.

Benar, tiba di Merak, Pak Sopir mencarikan penumpang Ibuk-Ibuk yang mau ke Lampung. “Nyebrang? titip mbaknya ini..” katanya pada seorang wanita 40an yang melangkah turun dari busnya.

“Kamu ikuti dia!” perintahnya pada saya. “Kalau dia naik motor (ojek), kamu ikuti naik ojek, barengi terus..”

Kalau boleh jujur jarak antara terminal Merak dan Pelabuhan Merak tak begitu jauh. Jalan kaki saja bisa.

Tapi saya terus ngekor pada Ibuk itu. bayar ongkos ojek 10 ribu. Gak ada acara kenalan, diapun main ayo-ayo aja. Hingga melewati koridor menuju Kapal pun kami tak ada ngomong sama sekali. Jalannya si Ibuk cepet, dan saya berusaha ngejar sambil lari-lari.

Di atas kapal saya mencari kursi di sampingnya si Ibuk. Di sanalah kami baru bisa cerita-cerita panjang. Rupanya dia sering perjalanan Jakarta-Lampung.

“Saya turun di terminal Rajabasa. Kalau kamu mau naik bus ke Palembang, di terminal Rajabasa adanya besok pagi. Tapi kamu masih bisa tinggal di Pos Polisi” saran si Ibuk pada saya.

Bayangan saya terminal pasti riuh 24 jam. Ternyata tidak, menurut cerita yang saya dengar dari orang-orang di kapal, saya tidak disarankan ke terminal Rajabasa. Mereka lebih cenderung saya naik travel dari Kalibalok. Lebih aman.

Trus, tiket kereta saya bagaimana…

Keluar dari pelabuhan Bakauheni untungnya saya terus ngekor di belakang si Ibuk. Calo-calonya serem. Keluar pelabuhan, puluhan lelaki menghadang kami dengan gagahnya.

Saya perhatikan, Ibuk itu lumayan jahat sama calo. Siapapun yang mendekatinya dan mendekati saya langsung disemprot habis-habisan. Hehe..

“Ayo kita naik bus itu!” ajaknya. “Jalannya lurus aja, jangan belok-belok, calo di sini sering kurang ajar. Main tarik-tarik tas orang” sambil memindahkan bawaannya yang berat ke sebelah tangan.

Di atas bus menuju Rajabasa dengan pemandangan jendela yang gelap, saya dapat kabar teman saya sudah membatalkan tiket kereta dan berencana mengajak saya naik travel.

“Mbak nanti minta turun Pom bensin Kalibalok, ya. Saya pesan travel. Saya tunggu di Kalibalok” pesan teman saya. Setelah saya buka map ternyata Jl. Ir. Soekarno Hatta, Kalibalau Kencana. Saya dengarnya Kalibalok, hehe..

Sekitar jam 22.30 saya sudah berdiri di depan Indomaret dekat Pom Bensin. Tak lama nunggu akhirnya saya disamperin mobil hitam yang didalamnya ada teman saya dan penumpang lain.

Akhirnya petualangan saya berakhir di mobil travel dengan sekotak nasi goreng panas yang enak. Makanan saya yang masuk ke perut untuk pertama kalinya seharian itu.

Setelah melalui 8 jam perjalanan jodoh saya bertemu dengan pintu masuk Jakabaring, Palembang. Alhamdulillah..

Oya, kapan-kapan saya tuliskan rasanya naik mobil melintasi aspal Trans Sumatera, ya. Seruu!

One Comment

  • Rama

    Mbak numpang nanya he he.
    Saya warga palembang, kuliah di bali. Mau pulang tapi terjebak tiket yang muahal hanget.
    Nah kira2, kalo dari surabaya ada nda ya bus yang langsung ke palembang.
    Terus harga tiket mbak di surabaya jakarta itu berapa ya mbak.?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *