Cerita Piknik

Drama ngejar Kereta

Bisa dibilang, dari 10 kali naik kereta api, 7 diantaranya saya mengalami drama yang sangat parah. Sampai Suami komen gini,

β€œBukan Mbak Yuni namanya kalau nggak ada drama”

πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

Konfliknya selalu saja sama, ngejar kereta!

Bingung juga, kereta diam, kenapa juga dikejar-kejar πŸ˜€

Bukan niat mau terlambat, tapi kok ada aja halangannya saat menuju ke stasiun. Tiba di stasiun hampir selalu keretanya yang nunggu.

Kejadian terakhir tanggal 5 April 2018 kemarin. Jadwal kereta Kertajaya dari Surabaya berangkat jam 21.00, tet. Dan jam 20.13 saya masih berdiri dipinggir jalan menunggu kedatangan ojek online.

Kurang dari sejam, lho, ini! Iya kalau masinisnya bisa dihubungi suruh nunggu bentaran.

Drama ngejar kereta kali ini diawali dengan rencana saya pergi ke Jakarta dalam rangka ikut Open Trip ke Ujung Kulon tanggal 6 – 8 April. Persiapannya dadakan banget karena saya dapat infonya juga mendadak. Awalnya sempat ragu-ragu ikut. Tapi karena Suami kasih ijin, akhirnya saya putuskan ikut. Berdua kami berangkat ke Jakarta, walaupun ke Ujung Kulonnya seorangan saja.

Jam 20.13 Harap-harap Cemas menunggu

Kamis siang, tepat pada hari keberangkatan itu saya masih mereview resto di Surabaya. Gambaran di kepala saya sepulang acara mulai siap-siap masukin baju dan segala perlengkapan ke dalam koper.

Hal-hal begini udah biasa. Bahkan pernah sejam sebelum berangkat baru masuk-masukin baju. Dan Alhamdulillah selalu sukses, hehe..

Persiapan kecil seperti ngecharge kamera, senter, powerbank, sudah saya lakukan semua. Segala persiapanpun terbilang lancar. PR terakhir hanyalah menunggu kedatangan Suami.

Disinilah konflik rumah tangga itu dimulai..πŸ˜‚

Petang menjelang malam Suami belum juga pulang. Janji pulang sore gak bisa Ia tepati karena harus menemani tamu di kantornya. Baiklah, saya persiapkan sendiri saja baju-baju kami. Yang tidak saya duga, diam-diam Suami sudah masukin bajunya ke dalam koper sejak pagi. Baguslah, tinggal saya mempersiapkan keperluan saya sendiri.

Usah sholat Maghrib, Suami nelpon. Udah seneng dong, sebentar lagi dia pulang. Itu artinya kami gak perlu buru-buru berangkat ke stasiun. Setidaknya jam 19.30 kami sudah bisa jalan menuju Stasiun Pasar Turi dan sisa waktu tunggu kereta bisa kami gunakan untuk leyeh-leyeh sambil jajan-jajan manis di Indomaret. Dalam keadaan lancar, perjalanan dari rumah ke Pasar Turi sekitar 20 menit dengan motor. DENGAN MOTOR! Macet-macet paling lama 30 – 35 menit lah.

Suami memang pulang. Udah seneng dong saya. Nyatanya kepulangannya kali itu untuk kembali lagi ke kantor. Dia datang hanya ngambil sesuatu yang ketinggalan di rumah.

β€œAh, ya, sudahlah.. masih jam 18.30 ini. Menuju jam 21.00 masih lama. 2,5 jam lagi” pikir saya.

Meski begitu di hati saya yang lain sempat mempertanyakan. β€œUdah jam segini mau balik kantor lagi. Trus nanti sampai rumah jam berapaa lagi….”

Tenang.. tenang.. dalam kesempitan saya yakin ada kelonggaran. Selalu ada celah disaat terpepet.

Saya berusaha tenang.

Waktu bergerak maju, segala persiapan sudah rapi, jam 19.15 Suami belum juga nampak di rumah. Dalam ketenangan, saya mulai gelisah. Untuk mengabaikan kegelisahan, saya buka-buka IG. Menghibur diri, siapa tau dengan menikmati foto teman-teman hati merasa tentram.

Saya sengaja tak menghubungi Suami. Biarlah saya tunggu saja. Kasihan dia di jalan. Kalau saya telpon-telpon nanti malah kenapa-kenapa.

Jam 19.30 saya coba hubungi Suami. Maksudnya mengingatkan udah hampir jam 8.. kali aja keasyikan ngobrol sama tamu jadi lupa waktu.

Telpon saya nggak diangkatnya..

Ah, mungkin sudah di jalan. Hati saya mulai tenang kembali.

Yang lebih menenangkan saya adalah membayangkan kondisi lalu lintas Surabaya yang tak terlalu macet. Jelek-jeleknya, seandainya berangkat dari rumah jam 20.00 sampai stasiun 20.25, masih ada sisa waktu 35 menit. Waktunya agak longgarlah..

Saya mulai bikin gambaran di awang-awang: jam 20.00 jalan, sampai Stasiun jam 20.25. Ngeprint tiket, antri check in, masuk kereta.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 dan Suami belum juga menampakkan kegantengannya *cieh*.

Saya makin gelisah.
Berapa lama lagi saya harus menunggu.

Dalam kepasrahan saya mencoba ikhlas seandainya ketinggalan kereta. Biarlah gak jadi berangkat ke Jakarta. Selagi mikir uang tiket hilang, hati saya yang lain tak terima. Bagaimana dengan biaya Open Trip yang sudah dibayar, hangus dong..

Baiklah, saya harus usaha. Tidak boleh ada drama ketinggalan kereta. Apapun caranya!

Koper dan semua yang akan dibawa saya siapkan di dekat pintu dengan posisi tinggal tarik. HP saya taruh di meja gak mau saya buka-buka lagi. Penampakan foto-foto cakep di IG udah gak ada menariknya lagi di mata saya. Foto-foto keren semua terlihat sepet. Apalagi foto goyang, blur, gak jelas, malah bikin perut sebah!

Saya berinisiatif keluar rumah. Menunggu Suami di luar. Karena semakin lama saya di dalam rumah, jarum jam dinding membuat perasaan saya semakin kalut.

20.05 Perasaan saya membuncah. Motor suami sudah terdengar gaungnya dari jauh.

Begitu di depan rumah, saya mendapati wajah Suami pucat sambil teriak, β€œWaduh, kunci motornya kok gak ada. Gimana ini cara matiin motor!”

Wajah saya pias. Bisa gak, sih, curhat yang berharga dikit.. Keberangkatan kereta tinggal puluhan menit lagi, lho, kok ya masih juga diributin sama urusan lain. Dan kenapa pula dengan kunci itu motor!

….

….

Entah gimana caranya akhirnya kunci motor ditemukan! Dia jatuh selagi motor nyala. Lubangnya dol keknya.

Urusan beres, buru-buru saya memesan Gocar. Suami bersih-bersih bentar. Kayaknya gak mandi dia wkwkwk

Tak pakai lama, sopir Gocar nelpon meminta saya menunggu. Dia bilang masih kena macet di Bratang. Saya terima, karena jaraknya gak sampai 1 km.

5 menit berlalu, 8 menit kemudian, Jam menunjukkan pukul 20.13 tapi sopir Gocar belum juga menghubungi saya kembali. Apapun itu, karena sudah komit nunggu, saya tetap menanti Pak Sopir.

Saya mencoba menghubungi kembali jawab Pak Sopir sudah dekat. Maps di aplikasi pun saya lihat juga udah dekat. Harusnya 2 menit udah nyampai.

2 menit kemudian Pak Sopir menghubungi saya meminta ancer-ancer. Waduh, kirain udah tau lokasinya. Baiklah dengan sabar saya kasih tau.

Tik.. tok..

Tik.. tok..

Lama-lama nunggu bikin saya makin senewen

β€œPak udah sampai mana?” kekalutan saya memuncak. Sekarang sudah jam 20.25!

β€œ…. Pak, saya harus sampai ke Stasiun Pasar Turi jam 9 pas. Tolonglah, Pak, cepetaann..” Suara saya sudah bener-bener kesal.

β€œIni Pak sopirnya tua, nanti Sampean aja ya yang nyetir biar cepet!” saran saya ke Suami. Saran gak masuk akal dari seorang istri yang udah spaneng akut.

Sambil menunggu sopir, saya jalan kaki menyusuri aspal supaya jaraknya dekat dengan Pak Sopir. 200 meter kemudian, syukurlah mobil pesanan kami datang.

Buru-buru saya masuk ke mobil, dan Pak Sopir segera ngegas kencang-kencang. Yang membuat saya salut, Pak sopir yang sabar itu memahami kekalutan kami. Ia mencari jalan alternatif sambil menenangkan perasaan kami. Diajaknya kami ngobrol santai.

Tepat jam 20.43 saya tiba di Stasiun. Langsung kami bagi tugas, Saya turun ngeprint tiket, Suami ngurusin pembayaran Ojek. Jam 20.55 kami lari untuk check in, syukurlah kereta masih diam di tempatnya.

Jam 20.43 sampai Stasiun

Di atas kursi kereta, saya dan Suami menyelesaikan nafas yang tersengal-sengal sambil mengeringkan keringat yang membasahi baju. Dan saat-saat itu kami tertawa puas penuh kemenangan, hahaha…

Bukan kompetisi lari, tapi hati kami bahagia telah menyelesaikan finish dengan sempurna! Terima kasih Pak Sugeng yang telah memahani saya 😍😍

7 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *