Cerita Piknik

Ditahan gara-gara Brosur

Ternyata kebiasaan ngumpulin brosur tak selamanya berakhir baik. Alih-alih ngumpulin informasi, dan juga sebagai oleh-oleh dari Singapura, saya dan Umik Vika kena tahan maskapai bandara.

Baru tiba di bandara Changi saya langsung kalap ngumpulin brosur. Setiap ada rak brosur di depan saya, baik di hotel, lokasi wisata, stasiun MRT, pasti saya ambil selembar-selembar, rata.

Selain buat bahan bacaan di jalan, yang paling penting bagi saya adalah mempelajari informasi dari sebuah brosur berlipat tebal yang ketika di hamparkan terdapat keterangan lokasi wisata dan nama-nama jalan di segala penjuru Singapura. Kertas lebar berhalaman depan merah bertuliskan besar-besar yang terbaca MAPS itu menjadi brosur favorit saya. Sampai-sampai di kamar hostel telah terkumpul 7 lembar!

Yang parah, sudah nenteng Maps, saya masih saja sibuk memfoto papan rute di halte bis atau mengambil gambar peta stasiun pemberhentian yang terdapat di dalam MRT?

Prestasi ngumpulin brosur paling semangat yang saya lakukan adalah saat sedang eksplor ke Sentosa Island. Dari mulai masuk VivoCity hingga berjalan kaki menuju pulau Sentosa tak henti-hentinya saya menambah tumpukan kertas. Mbuh lah isinya apa, pokoknya mesti ambil selembar. Malamnya saat beres-beres tas, baru sadar, brosur saya banyaknya sudah setinggi 2 buku Negeri 5 Menara haha..

Malam terakhir di Singapura, saat packing buat kembali ke Indonesia, brosur itu saya tata sedemikian rupa. Yang dobel-dobel, kayak maps saya buang langsung ke tempat sampah. Sebenarnya sayang, tapi demi kemaslahatan volume tas, kertas itu harus disisihkan.

Sebetulnya tas saya gak berat-berat banget. Jatah maksimal 10 kg masih sisa meskipun sudah saya isi coklat batu 2 kg dan beberapa kotak coklat lain. Pun botol minuman turut saya masukkan juga! Yang terlihat bingung saat itu justru Umik. Merasa gak beli banyak oleh-oleh, setau saya dia hanya beli kripik Irvins 2 bungkus, tapi wajahnya grogi berat waktu uji coba mengangkat kopernya.

Kalau keberatan, sini sebagian masukkan tasku biar beratnya imbang” kata saya bersolusi.

Hari itu jadwal pesawat kami jam setengah delapan pagi. Jam 3 dini hari kami mulai kasak-kusuk mengemasi barang-barang terakhir, berharap jam 4 sudah mulai jalan ke bandara Changi.

Tiba di Changi langit Singapura masih gelap. Suasana bandara masih sepi. Dengan perasaan biasa saja, saya dan Umik melakukan chek in sesuai nama maskapai. Oleh petugas kami dipersilakan chek in mandiri menggunakan mesin yang ada di depan counter maskapai.

Check in sukses, tetapi petugas maskapai bandara menahan kami. Paspor Umik diminta dan dibawa olehnya.

Petugas laki-laki yang saya perkirakan berusia lebih 50 tahun dan bertubuh segar itu menyuruh kami menumpuk tas di atas timbangan.

Saat itu saya dan Umik pandang-pandangan. Mata kami seakan bicara “Mati kon
Kami sadar, tas nya Umik memang over. Kamera sama lensanya dia aja ada 2 kg sendiri.

Sebelum menaikkan koper ke atas timbangan, kami mencoba memanipulasi barang bawaan. Kameranya Umik saya kalungkan di leher. Saat angka mulai berjalan di layar monitor, kami deg-degan sekali. Gak bisa membayangkan kalau kami harus membayar denda kelebihan bagasi.

“Tolong kameranya dilepas dan taruh di atas koper”. Raut petugas seolah gak mempan diajak damai.

Walaahhh, drama apa pula ini.

Angka di timbangan tercatat 24,7 kg. Petugas lelaki itu langsung mengambil pricelist dan berkata, “Mau ke Surabaya, ya? Karena kelebihan beban, anda harus membayar $40”

Waah, membayangkan 400 ribu melayang ke maskapai, jelas kami tidak terima. Lumayan banget uang segitu.

Saya dan Umik berpandangan malas

“Gimana, Mbak. Kita urunan 200 ribuan, tah?” bisik Umik. “Harga coklat batu mu berapaan, sih?” sambungnya.

Duh, tak terbayangkan shubuh-shubuh udah diajak mikir duit gede.

“Mik, bilang ke petugas, minta ijin sortir barang bawaan. Di dalam tasku ada brosur sama botol minuman. Beratnya lumayan itu. Tinggalkan ajalah semua di sini”

Setelah dikasih ijin nyortir barang, petugas itu menjauh entah kemana.

Saya langsung buka isi tas dan mengambil setumpuk brosur dan meletakkannya di sebuah bangku kosong agak jauh. Botol mineral berisi setengah pun saya keluarkan sekalian.

Sekarang berat tas kami menjadi 22 kilo koma sekian.

Petugas bandara yang kembali mendekat langsung heran melihat beban tas kami berkurang banyak.

Dia lalu bertanya apa yang membuat tas kami berkurang?

Saya langsung bilang ada brosur dan botol minuman. Masih belum percaya, petugas meminta saya menunjukkan brosur-brosur pembawa masalah itu.

Saya ngilang sebentar, lalu dengan susah payah mengangkat setumpuk brosur yang bentuknya tak beraturan ke hadapan petugas. Sambil pasang muka nyengir tentunya.. ?

Tanpa kami duga, petugas itu berteriak kencang, “Subhanallaaahhhh……” sambil tertawa yang diikuti teman-temannya. Saya dan Umik pun ikut ngakak berjamaah. Lama kami tertawa. Suasana bandara yang sepi dan kaku seketika mencair mendengar tawa mereka.

Sambil menunggu keputusan, teman si Bapak menyarankan saya membuang brosur ke tempat sampah sambil jarinya nunjuk ke tong sampah.

Lagi-lagi saya nawar, “bolehkah saya menyortir dulu brosur-brosur ini sebelum semuanya masuk ke tong sampah?” sangat disayangkan kalau brosur itu dibuang. Setidaknya saya mau ambil maps nya aja. Yang lain gapapa deh dibuang.

Bandara Changi kala shubuh

Tak disangka, Bapak petugas yang melayani kami langsung menengahi dan berkata, “udah bawa-bawaa…. bawa aja semua brosurnya” dengan raut muka penuh senyum.

Sebelum berlalu, saya dan Umik tak lupa mengucapkan terima kasih. Merasa dapat kebebasan kami pun buru-buru ngilang sebelum Bapak Bandara berubah pikiran.

Sampai sekarang tiap kali ingat suara si Bapak mengucapkan ‘Subhanallaah…’ saya tertawa-tawa sendiri

13 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *